Selasa, 01 Januari 2013

Materi Fiqih X Semester I

MATERI FIQIH MA X SEMESTER I
PELAJARAN I
IBADAH DAN SYARI'AT DALAM ISLAM
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

(QS. Adz Dariyat: 56)

1.      Pengertian Syariat Islam

  Menurut bahasa Syariat artinya jalan menuju tempat keluarnya air minum atau jalan lurus yang harus diikuti. Menurut istilah syariat artinya hukum-hukum dan tata aturan Allah yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.
Syariat Islam mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk individual, maksudnya seorang hamba harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariat Islam.
Syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah sehingga terwujud kesalehan sosial. Selain itu syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan alam semesta untuk mewujudkan lingkungan alam yang makmur dan lestari. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Qur’an surat Al Maidah: 48: “Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al Maidah: 48).

2.      Prinsip-Prinsip Syariat Islam
Syari’ah Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada tiga, yaitu :

a.       Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syari’ah Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah antara lain :  
“...  dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS. Al Hajj: 78).

“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185).
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa)” (QS. Al Baqarah: 286).

Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al Qur’an disebutkan :

1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184).

2). Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air :
“...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).

3). Keringanan pula membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa :
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
b.      Menyedikitkan Beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).

Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam syari’ah tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan rahmat Allah untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah SAW :

وَقَدْ سُئِلَ عَنِ الْحَجِّ افِى كُلِّ عَامٍ؟ فَقَالَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوْ جَبَتْ ذَرُوْنِيْ مَا تَركْتُمْ فَاِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةٍ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ اَنْبِيَائِهِمْ (الحديث)                                                                               
“Rasulullah SAW.  telah ditanya tentang haji: Apakah haji itu harus dilakukan setiap tahun ? Rasulullah SAW menjawab : Jika aku katakan  ya, pasti akan menjadi wajib, maka biarkanlah apa yang aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya orang-orang umat sebelum kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka terhadap Nabi mereka.” (Al Hadits).

c.       Berangsur-angsur Dalam Menetapkan Hukum
Pada awal Islam diturunkan, belum menetapkan hukum secara tegas dan terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat kebiasaan mereka sebagai peraturan dalam kehidupan mereka. Di samping itu, pada saat mereka ada yang baik dan dapat diteruskan, tetapi ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena itu maka syari’ah secara berangsur-angsur dalam menetapkan hukumnya agar tidak mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu dirasakan yang akhirnya sampai pula pada ketentuan hukum syari’ah yang tegas.
Pentahapan dalam menetapkan hukum tersebut, syari’ah Islam menempuh cara sebagai berikut :
1).    Berdiam diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat sementara masih perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan hukum warisan jahiliyah, tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus membatalkan hukum warisan Jahiliyah tersebut.
2).    Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman Allah SWT :
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39).

3). Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang khamar dan maisir (Judi), yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah SWT :
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219).

Dengan ayat tersebut, syari’ah belum menetapkan arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya. Pada tahap berikutnya, Allah SWT. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...” (QS. An Nisa’: 42).

Ayat tersebut belum mengharamkan juga arak secara tegas, tetapi dengan larangan shalat bagi yang mabuk itu merupakan penegasan untuk meninggalkannya . Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).

d.      Memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum
Allah dalam menetapkan hukum selalu memeprtimbangkan kemaslahatan hidup umat manusia. Oleh akrena itu dalam proses penetapan hukum senantiasa di dasarkan pada tiga aspek :
1).    Hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2).    Hukum ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.
3).    Hukum hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan hukum.
e.       Keadilan yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah tingkatan taqwa mereka. Oleh karena itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maidah: 8).

A. TUJUAN SYARI'AH ( MAQOSHID AL SYARI'AH ) 

Menurut ahli ushul Fiqih ada lima prinsip dasar yang harus dijaga dan dipelihara oleh manusia, oleh karena itu tujuan syariat islam adalah :

1.     Untuk memelihara agama (Hifdz Al din)
Maksudnya adalah kewajiban menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi. Agama diturunkan oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga manusia akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh karena itu agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan mutlak bagi manusia. Tanpa bimbingan dan tuntunan agama manusia tidak mungkin dapat mengatur dirinya sendiri apalagi mengatur orang lain. Adapun cara-cara menajaga dan melestarikan agama adalah dengan melaksanakan apa yang disyariatkan agama itu dengan melakukan secara baik dan benar.
Menjaga dan mempertahankan agama hukumnya wajib, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَشَهِيْدٌ. وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَشَهِيْدٌ. وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ ومَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ (رواه البخار ومسلم)                               
“ Siapa yang gugur dalam mempertahankan hartanya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan darahnya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan agamanya ia syahid, siapa yang gugur dalam mempertahankan keluarganya ia syahid “(HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Memelihara jiwa (Hifdz al Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa manusia sesuai firman Allah QS. Al Isra’: 33
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar*. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan* kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (QS. Al Israa: 33)
Keterangan :
*     Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
*     Maksudnya: kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk menuntut kisas atau menerima diat. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.

3.     Memelihara akal (Hifdz Al Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal karena akal merupakan anugerah Allah yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Akal inilah diantara anugerah Allah yang paling utama, sehingga dapat membedakan antara manusia dengan makhluk lain dan dapat membedakan antara manusia yang sehat jiwanya dengan manusia yang tidak sehat jiwanya
Firman Allah QS. Ali Imran: 29-30 :
29.  Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
30.  Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang Telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran: 29-30).

  1. Memelihara keturunan (Hifdz Al Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik karena dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga, bumi akan termakmurkan.
Firman Allah QS. Al Baqarah: 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 180).

  1. Memelihara harta (Hifdz Al Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya. Firman Allah QS. An Nisa: 7 : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.” QS. An Nisa: 7 )

Dan dijelaskan pula dalam Al Qur’an surat An Nisa’ : 11 “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisa’: 11)

Menurut pendapat yang lain dijelaskan bahwa syari’ah Islam bertujuan antara lain :
1.   Untuk menunjukkan bahwa ajaran dan ketentuan Allah itu lebih tinggi dan luhur nilainya dibandingkan dengan pemikiran manusia, sesuai dengan firman Allah SWT :
“.... dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At Taubah: 40).

2.    Untuk melaksanakan syari’ah yang telah ditetapkan Allah kepada umat manusia. Hal ini karena Allah SWT. telah menetapkan bagi tiap-tiap umat syari’ahnya masing-masing, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
“Bagi tiap-tiap umat Telah kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) Ini dan Serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (QS. Al Hajj: 67).

3.    Untuk mempersatukan pandangan hidup manusia, agar semuanya berada pada jalan yang benar yang juga mempersatukan dalam segala sikap dan perbuatan. Firman Allah SWT. :
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am: 153).

4. Untuk kesejahteraan dan kemaslahatan hidup manusia. Untuk itu syari’ah Islam menjamin terwujudnya tiga hal yang merupakan kebutuhan hidup manusia, yaitu :
a.      Adanya perlindungan terhadap masalah pokok dalam kehidupan yang meliputi lima hal, yaitu : 1). Perlindungan terhadap agama, 2). Jiwa, 3). Akal, 4). Kehormatan dan 5). Harta kekayaan. Masalah tersebut disebut Dharury (pokok)
b.   Terbukanya jalan untuk mengatasi kesulitan dan hal yang memberatkan dalam melaksanakan kewajiban, sehingga memberikan kemudahan dan keringanan. Kebutuhan untuk membebaskan dari hal yang memberatkan itu disebut “Hajiyah” (kebutuhan penting). Hal ini diwujudkan dalam syari’ah dengan adanya rukhshah dalam beberapa hal, seperti boleh shalat jamak dan qasar bagi orang yang dalam perjalanan jauh.
c. Memberikan kesempatan kepada manusia untuk melengkapi dan menyempurnakan kehidupannya, sebagai contoh dalam syari’ah ditemuinya ketentuan tentang amalan-amalan sunat, keharusan bersih dan suci badan, pakaian dan tempat dalam melakukan shalat, keharusan bersikap jujur dalam pergaulan bermasyarakat, adanya larangan membunuh orang lanjut usia dan anak kecil dalam perang dan lain-lain. Ketentuan seperti itu disebut tahsiniyah (pelengkap).

1.      Pengertian Ibadah
Menurut bahasa Ibadah artinya patuh (Al Tha’ah) dan tunduk (Al khudhu) menurut istilah ibadah adalah segala amal atau perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perkataan, perbuatan atau tingkah laku. Tujuan ibadah adalah untuk membersihkan dan mensucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah
2.      Macam-macam ibadah
Ibadah terdiri atas dua macam, yaitu :
a.  Ibadah mahdhoh, artinya ibadah yang khusus berbentuk praktek atau perbuatan yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah melalui tatacara yang telah diatur dan dicontohkan oleh Allah dan Rasulnya. Contoh ibadah mahdhoh adalah Sholat, Puasa, Zakat dan Haji.
b.      Ibadah Ghairu mahdhoh: Ibadah yang tatacaranya tidak diatur secara Khusus oleh Allah dan Rasulnya sehingga berbentuk umum antara hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam. Contoh ibadah ini adalah : Gotong royong, membantu orang yang sangan membutuhkan, menjaga alam sekitar dan lain-lain.

3.      kedudukan Ibadah
Kedudukan Ibadah dalam Islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral seluruh aktivitas manusia. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh manusia bisa bernilai ibadah namun tergantung pada niatnya masing-masing, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas manusia dapat bernilai ganda, yaitu bernilai material dan bernilai spiritual.

1.      Menurut bahasa Syariat artinya jalan menuju tempat keluarnya air minum atau jalan lurus yang harus diikuti. Menurut istilah syariat artinya hukum-hukum dan tata aturan Allah yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.
2.      Pengertian Ibadah menurut bahasa Ibadah artinya patuh (Al Tha’ah) dan tunduk (Al khudhu) menurut istilah ibadah adalah segala amal atau perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perkataan, perbuatan atau tingkah laku
3.      Ada beberapa prinsip dalam syariat Islam. Prinsip-prinsip dasar tersebut yaitu :
a.      Tidak Memberatkan
b.     Menyedikitkan Beban
c.      Berangsur-angsur Dalam Menetapkan Hukum
4.      Menurut ahli ushul Fiqih ada lima prinsip dasar yang harus dijaga dan dipelihara oleh manusia, oleh karena itu tujuan syariat islam adalah:
a.       Untuk memelihara agama (Hifdz Al din)
Maksudnya adalah kewajiban menjaga dan memelihara tegaknya agama dimuka bumi
b.      Memelihara jiwa (Hifdz al Nafs)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara jiwa manusia
c.       Memelihara akal (Hifdz Al Aql)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara akal karena akal merupakan anugerah Allah yang sangat prinsip karena tidak diberikan kepada makhluk selain manusia
d.      Memelihara keturunan (Hifdz Al Nasl)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara keturunan yang baik karena dengan memelihara keturunan, agama akan berfungsi, dunia akan terjaga, bumi akan termakmurkan
e.       Memelihara harta (Hifdz Al Mal)
Yaitu kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya.